Perubahan Hormon pada Fase Kebutingan Ternak - Kebuntingan ternak adalah salah satu fase dalam siklus reproduksi ternak betina sebagai hasil dari proses fertilisasi yang melibatkan fusi antara sel spermatozoa dengan ovum. Ovum yang terbuahi akan berdiferensiasi menjadi embrio dan menuju uterus untuk implantasi. Di uterus inilah perkembangan embrio berdiferensiasi lagi menjadi feotus (janin) dan kemudian lahir. Lamanya fase kebuntingan pada ternak sapi adalah sekitar 9 bulan.

Selama fase kebuntingan ternak, terjadi perubahan homon dalam tubuh ternak karena adanya interaksi antara uterus dengan ovarium, khususnya dengan corpus luteum. Perubahan hormonal yang terjadi antara lain adalah terhadap produksi estrogen, progesteron, dan sekresi hormon-hormon gonadotrophin seperti LH dan FSH.

Produksi Estrogen 

Pada siklus oestrus yang diikuti oleh terjadinya fertilisasi dan menghasilkan kebuntingan ternak, terjadi perubahan terhadap produksi dan sekresi hormon estrogen dalam tubuh ternak. Estrogen yang diketahui dihasilkan dari folikel degraff pada siklus oestrus, juga dihasilkan dari embrio yang sedang berkembang yang ada di uterus. 

Penelitian menunjukkan bahwa, selama fase kebuntingan ternak juga dapat mengalami oestrus sebagai hasil dari siklus perkembangan folikel yang terjadi, meskipun dalam kasus ini sangat jarang diikuti dengan ovulasi. Dengan kata lain, kemungkinan ternak oestrus selama kebuntingan masih dapat terjadi. 

Ball dan Peters (2004) dalam bukunya Reproduction in Cattle melaporkan bahwa mereka menemukan satu kasus dimana seekor ternak yang telah diinseminasi dengan sapi Holstein dan disusul kembali dengan diiseminasi dengan bibit sapi potong, dapat  menunjukkan tanda-tanda oestrus tiga minggu kemudian. Induk yang diiseminasi tadi pada akhirnya melahirkan anak kembar yang masing-masing adalah sapi Holstein dan jenis sapi potong sebagai hasil dari perlakuan double insemination.

Selain itu, dilaporkan juga bahwa pada ternak sapi selama kebuntingan plasma susu oestrone sulphate konsentrasinya meningkat selama kebuntingan.

Progesteron dan pengaruh Anti-luteolitik 

Konsentrasi plasma progesteron dan progesteorn susu meningkat dengan cepat pada beberapa hari fase awal kebuntingan yang diketahui memiliki pola yang sama dengan peningkatan plasma progesteron yang terjadi pada fase awal luteal pada sapi yang tidak bunting. Terdapat beberapa laporan yang berbeda terhadap pola peningkatan plasma progesteron ini.

Hansel (1981) melaporkan bahwa terjadi perpedaan level plasma progesteron dalam darah sejak hari ke- 10 kebuntingan, sedangkan Bulman dan Lamming (1978) melaporkan hal yang berbeda dimana dilaporkan tidak terjadi perbedaan level plasma progesteron sampai dengan hari ke- 18 kebuntingan. 

Level Progesteron susu pada sapi perah yang bunting (garis tebal) dan tidak bunting (garis tipis). Reference: Bulman & Lamming (1978)

Selanjutnya Mann dan Lamming (1991) melaporkan bahwa terjadi konsistensi level plasma progesetron dalam darah selama fase kebuntingan dan bahkan tidak terjadi penurunan level plasma progesteron selama kebuntingan. Laporan Starbuck et al., (2001) yang meneliti 1.228 ekor sapi perah Holstein_Friesian juga mendukung konsistensi level progesteron ini. Dilaporkan bahwa pada sapi yang mengalami penurunan level progesteron susu sejak 5 hari setelah diinseminasi berhubungan dengan rendahnya tingkat kebuntingan yang mungkin terjadi. Dengan kata lain bahwa ternak sapi yang telah diinseminasi dan terjadi penurunan progesteron susu dalam darah kemungkinan buntingnya kecil.

Hubungan level progesteron susu terhadap tingkat kebuntingan berdasarkan penelitian Starbuck et al., (2001) disajikan pada tabel dibawah ini.

Level Progesteron Susu hari ke- 5 (ng/ml) Rata-rata tingkat kebuntingan (%)
<1 <10
1 - 2 30
2 - 3 40
>3 50

Peningkatan progesteron selama kebuntingan menginisiasi reseptor progesteron di uterus untuk mendukung perkembagnan embrio yang telah mengalami fertilisasi. Peningkatan progesteron ini antara lain bekerja pada endometrium uterus yang mengalami penebalan sehingga mampu menerima implantasi zygot dalam tahap perkembagannya sampai dengan kelahiran.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa tingginya level progesteron dalam darah selama fase kebuntingan bertujuan untuk merawat kebuntingan hingga kelahiran. Oleh karena itu, sekresi PGF2@ oleh pembuluh vena uterus akan menyebabkan luteolisis dan keguguran pada ternak yang sedang bunting. Namun demikian, pada saat yang bersamaan, embrio yang sedang berkembang di uterus sejak hari ke- 16 juga mensekresikan protein interferon dalam jumlah yang cukup sehingga dapat mencegah peningkatan reseptor oxytocin yang kemunculannya dipengaruhi oleh estradiol yang dihasilkan oleh folikel di ovarium. 

Karena adanya hambatan protein interferon tadi, maka oxytocin gagal menginisiasai tahap akhir sintesis PGF2@, bahkan levelnya terus menurun mulai hari ke- 17 fase kebuntingan. Mekanisme ini dapat anda pelajari lebih lanjut pada artikel tentang Interaksi Uterus dan Corpus Luteum

Pada tahap ini (khususnya pada babi dan kambing) corpus luteum terus fungsional dan memproduksi progesteron dalam jumlah yang cukup untuk memelihara dan mempertahankan kebuntingan sampai ternak lahir. Berbeda dengan ternak sapi dimana sumber utama progesteron tidak hanya corpus luteum melainkan dihasilkan juga dari kelenjar adrenal dan plasenta. 

Ball dan Peters (2004) melaporkan bahwa pada sapi corpus luteum dibutuhkan sampai hari ke- 200 umur kebuntingan, jika setelah 200 hari kebuntingan sapi diovariektomi maka kebuntingan normal tidak akan terjadi. Inilah pentingnya kehadiran corpus luteum di ovarium selama fase kebuntingan agar selalu dapat menghasilkan progesteron yang cukup untuk memelihara kebuntingan.

Konsentrasi Hormon-hormon Gonadotrophin

Selama fase kebuntingan level LH dalam tubuh ternak rendah namun tetap disekresikan dalam jumlah kecil secara kontinyu. Sekresi LH ini berhubungan dengan kelangsungan corpus luteum di ovarium agar tetap dapat menghasilkan progesteron. Little et al., (1982) melaporkan bahwa frekuensi gelombang LH menurun dari 2,6/10 jam antara hari ke 50 dan 60 kebuntingan menjadi 1,2 gelombang/10 jam antara hari ke 250 dan 260 kebuntingan.

Level FSH dalam tubuh ternak yang bunting juga rendah sebagai akibat tingginya level progesteron yang memberikan feedback negative ke hypofisa sehingga produksi dan sekresi FSH rendah. Hal ini kemungkinan sebagai jawaban pada sebagian besar ternak yang bunting, fase perkembangan folikel tidak dapat mencapai ovulasi.

Disamping itu, selama fase kebuntingan plasenta juga menghasilkan hormon protein yang dikenal sebagai plasenta laktogen yang juga memiliki krakteristik gonadotrophin.

References:

  1. Ball, P.J.H., and Peters, A.R. 2004. Reproduction in Cattle. Blackwell Publishing, Oxford, UK.
  2. Bulman, D.C. & Lamming, G.E. (1978) Journal of Reproduction and Fertility, 54, 447.
  3. Hansel, W. (1981) Journal of Reproduction and Fertility (Suppl. 30), 231.
  4. Little, D.E., Rahe, C.H., Fleeger, J.L. & Harms, P.G. (1982) Journal of Reproduction and Fertility, 66, 687.
  5. Mann, G.E. & Lamming, G.E. (1999) Reproduction in Domestic Animals, 34, 269–274.
  6. Starbuck, G.R., Darwash, A.O., Mann, G.E. & Lamming, G.E. (2001) British Society of Animal Science Occasional Publication, 26, 447–450.