Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 sudah dimulai, tidak lama lagi kita akan memilih dan ikut menentukan pemimpin di darah baik Kabupaten/Kota dan Provinsi. Namun apakah kita sudah siap untuk ambil bagian dalam menentukan arah kepemimpinan daerah kita melalui Pilkada ini?

Pertanyaan di atas terkesan sederhana dan mungkin sebagian dari kita dapat menjawab dengan spontan bahwa “tentu kita siap, yaitu dengan cara menyalurkan hak pilih kita di hari pemungutan suara”. Iya, jawaban tersebut tidak salah. Namun yang paling penting adalah bagaimana cara kita dalam menentukan pilihan pada 27 Nopember 2024 nanti. Apakah cara berdemokrasi kita sudah ada kemajuan dari Pilkada ke Pilkada, dan dari Pemilu ke Pemilu berikutnya? Tentu ini yang perlu kita tanyakan kepada diri kita masing-masing.

Demokrasi sebagai sistem politik yang kita anut selama ini sebenarnya merupakan wadah yang krusial dalam menentukan arah kemajuan daerah dan bangsa kita. Melalui demokrasi suara rakyat benar-benar dijadikan sebagai penentu dalam berkehidupan suatu negara demokrasi. “Suara rakyat adalah suara Tuhan” adalah ungkapan tentang penciri demokrasi yang sudah biasa kita dengar. Pertanyaannya apakah pemimpin atau perwakilan yang dihasilkan dari proses demokrasi kita selama ini betul-betul menuhankan suara rakyat atau suara-suara yang lain?

Benarkah praktik demokrasi kita memang betul-betul telah menerapkan prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”? Atau rakyat hanya dijadikan sebagai objek yang hanya dimanfaatkan saat momen-momen tertentu saja? Tentu kita sudah bisa menilai berdasarkan sudut pandang masing-masing. Tapi apa yang terjadi akhir-akhir ini, dimana praktek korupsi semakin menjadi-jadi dan sebagian besar pelakunya adalah orang-orang yang dihasilkan dari proses demokrasi. Rasanya kita patut mengakui bahwa ada yang salah dengan demokrasi kita selama ini.

Terlepas dari siapa yang salah dalam proses demokrasi kita, yang patut kita lakukan adalah menelaah kedalam diri kita masing-masing. Apakah kita sebagai rakyat telah memainkan peran yang cukup baik dalam proses demokrasi selama ini? Apakah kita dalam menentukan pilihan benar-benar berdasarkan penalaran kita terhadap kemampuan dan rekam jejak calon yang kita pilih? Atau jangan-jangan kita hanya termasuk sebagai pelengkap pada setiap proses demokrasi pada setiap tahapan pemilihan.

Di zaman yang serba canggih ini, dimana akses informasi yang begitu terbuka lebar, seharusnya cara berpikir kita dalam menentukan pilihan mengalami perubahan yang lebih baik dari pemilu atau pilkada sebelumnya. Saat ini kita sangat dengan mudah mengikuti perkembangan pemberitaan, kita tentunya sudah lebih peka terhadap perubahan di kehidupan keseharian kita, kita bisa merasakan ada tidaknya peningkatan daya beli, kesejahteraan, perputaran ekonomi, dan sebagainya di lingkungan kita. Dengan demikian seharusnya kita sudah mampu atau mau menyadai bahwa apa yang terjadi di sekitar kita saat ini tidak terlepas dari keputusan yang kita ambil pada perhelatan demokrasi pada pemilu atau pilkada sebelumnya.

Disaat kita mau menyadari bahwa apa yang terjadi di setiap perputaran kehidupan kita berkaitan dengan hal-hal diatas merupakan hasil dari poses demokrasi dimana kita terlibat didalamnya, saat itulah seharusnya kita memulai cara berpikir baru tentang peran kita dalam demokrasi. Kita tidak bisa lagi bersipat apatis terhadap proses demokrasi. Pada pemilihan kepala daerah misalnya, kita sudah harus mampu menentukan kriteria calon pemimpin yang akan kita pilih dalam menentukan arah kemajuan daerah kita masing-masing.

Kita harus terlibat aktif dalam pelaksanaan pendidikan demokrasi kepada setiap lapisan masyarakat, setidaknya di lingkungan keluarga kita masing-masing. Mungkin kita bertanya, dari mana kita bisa memulainya? Hal sederhana yang dapat kita lakukan adalah memberikan pemahaman tentang dampak buruk politik uang. Kita harus mampu membangun kesadaran komunal bahwa pemimpin yang terpilih dengan cara membeli suara rakyat tidak akan sepenuhnya menjadikan suara rakyat sebagai suara Tuhan.

Calon yang menggunakan politik uang secara tidak langsung telah menyatakan dirinya tidak sanggup menjadi pemimpin. Mengapa demikian? Karena dengan menggunakan uang sebagai cara untuk mendapatkan suara rakyat, artinya calon tersebut tidak memiliki kemampuan dalam menawarkan program yang tepat untuk pembangunan daerah atau setidaknya dapat memikat hati pemilih. Calon yang seperti ini juga sangat patut kita pertanyakan tujuannya. Apakah benar-benar ingin membangun daerah atau ada tujuan lain yang berkaitan dengan kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Kesadaran tentang bahaya politik uang ini sangat penting untuk kita miliki sebagai bagian dari demokrasi. Karena seperti dapat kita amati pada setiap pelaksanaan pemilu atau pilkada, politik uang dapat dikatakan menjadi budaya yang telah berakar seakan sulit untuk diberantas. Oleh karena itu, setidaknya mulai dari diri sendiri kita berkomitmen agar suara kita yang berharga ini dapat kita gunakan dengan cara memilih pemimpin yang tepat.

Dalam konteks demokrasi yang begitu luas, kita mulai perbaikan ini dari diri kita sendiri. Kemudian kita menyadarkan dan membentuk pemahaman yang baik di lingkungan keluarga tentang pentingnya menentukan pilihan yang tepat, karena hampir setiap sendi kehidupan kita diatur dan dikendalikan oleh produk demokrasi.

Kita harus mampu menggunakan cara berpikir jernih dalam menentukan pilihan, kita harus peka terhadap perubahan yang terjadi di sekitar kita, dan kita harus mampu menelaah kemampuan seorang calon kepala daerah untuk membawa perbaikan yang lebih baik untuk daerah kita masing-masing.

Sebagai penutup artikel singkat ini, yang tidak kalah pentingnya adalah mari kita saling menjaga kerukunan dan merajut persatuan dan kesatuan. Kita jadikan momen pilkada ini sebagai pesta demokrasi selayaknya pesta, dimana tidak ada air mata kecuali air mata haru, dan tidak ada kebisingan kecuali suara tawa riang yang menenangkan. Berbeda pilihan itu biasa, anggap sebagai dekorasi warna yang indah pada suatu pesta.

Salam Demokrasi!